Diskusi Gender dengan Tema "Representasi Perempuan di Era Digital: Bagaimana Media Sosial Mempengaruhi Kesetaraan Gender?"
Jumat, 11 Oktober 2024 – Maulida Rifqi Rusydiani, Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Fakultas Sains dan Teknologi Terapan Universitas Ahmad Dahlan (PK IMM FAST UAD), menyelenggarakan pertemuan dengan tema “Pemikiran Perempuan di Era Digital: Bagaimana media sosial mempengaruhi kesetaraan gender?
Dalam diskusinya, Maulida berbicara mengenai peran media sosial sebagai alat yang berpengaruh dalam menciptakan kesetaraan gender. Di era digital yang serba cepat ini, media sosial telah menjadi alat penting dalam membentuk opini dan budaya sosial, termasuk isu kesetaraan gender. Perempuan yang tadinya terpinggirkan dalam berbagai aspek kehidupan kini mempunyai kesempatan untuk menyampaikan ide, berbagi pengalaman, dan membangun komunitas.
Maulida juga menekankan pentingnya pemanfaatan media digital sebagai sarana pemberdayaan. Melalui forum dan kampanye online, media sosial membantu meningkatkan kesadaran akan isu gender. Simbol seperti #MeToo telah menarik perhatian global terhadap kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Dengan berbagi informasi dan pengalaman, perempuan dapat mendidik orang lain tentang pentingnya kesetaraan gender dan hak-hak perempuan.
GEDISC mengkaji secara mendalam dampak era digital terhadap kesetaraan gender
GEDISC mengkaji secara mendalam dampak era digital terhadap kesetaraan gender
Salah satu kasus yang dibicarakan adalah kasus Ayu, seorang penjual gorengan miskin. Kasus Ayu menunjukkan kerugian nyata yang dihadapi perempuan dalam masyarakat kita. Ayew menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan, sebuah tindakan kekerasan brutal yang menyoroti betapa seringnya perempuan menjadi korban kekerasan berbasis gender. Dalam hal ini, kisah Ayu tidak hanya sekedar kematian individu, namun juga menjadi simbol perlawanan perempuan terhadap norma-norma patriarki yang sudah mengakar. Media sosial telah memainkan peran penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kasus-kasus tersebut, sehingga suara dan pengalaman perempuan yang terpinggirkan dapat didengar. Melalui kegiatan dan diskusi daring dalam menanggapi kejadian ini, masyarakat diajak untuk mempertimbangkan situasi negatif yang dihadapi perempuan dan pentingnya melindungi korban kekerasan dan mencari keadilan.
Di era digital, kasus Ayew menunjukkan bagaimana media sosial dapat menjadi alat yang efektif untuk mengadvokasi kesetaraan gender dan mengambil tindakan terhadap orang-orang yang melakukan kekerasan berbasis gender. Ketika berita mengenai kejadian ini tersebar, solidaritas dan dukungan pun muncul, sehingga mendorong masyarakat untuk menuntut perubahan undang-undang dan kebijakan yang melindungi perempuan. Namun, di saat yang sama, media sosial juga dapat menimbulkan masalah, seperti meluasnya stigma dan rasa bersalah terhadap korban.
Secara keseluruhan, kita tidak boleh memperjuangkan keadilan bagi Ayu, tapi juga menciptakan budaya yang menghormati dan melindungi perempuan. Masyarakat harus terus berupaya menghilangkan kekerasan berbasis gender dan mendukung perempuan untuk mengatasi tantangan yang mereka hadapi di dunia nyata dan di ruang digital. Kesadaran kolektif dan dukungan sosial diperlukan untuk memastikan bahwa perempuan aman dan dihormati dalam semua aspek kehidupan.
Media sosial telah menjadi alat yang kuat dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Melalui berbagai platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram, perempuan kini memiliki ruang untuk berbagi cerita, memperkuat suara, dan memobilisasi gerakan sosial. Kampanye-kampanye seperti #MeToo telah menunjukkan betapa besarnya dampak media sosial dalam membangun kesadaran global tentang isu-isu gender. Namun, di balik manfaatnya, media sosial juga menghadirkan tantangan, terutama terkait penyebaran misinformasi dan kekerasan berbasis gender yang masih harus diatasi.
Cinta Putri Jayanti_230015011
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow